top of page
Writer's pictureRoemah Inspirit

Belajar Mengambil Nafas Panjang di Tengah Hiruk Pikuk Kehidupan Organisasi Nirlaba

Updated: Oct 3, 2023

Staf Komunikasi Roemah Inspirit membagi pelajaran yang ia dapat dalam retret tim Roemi ke Bali awal Agustus lalu. Mulai dari menyadari sensasi tubuh hingga belajar tentang empat cara mengetahui, retret ini jadi kesempatan mengatur ulang diri dan organisasi.

Aku menandai empat tanggal pada kalender pribadiku: 8 sampai 12 Agustus. Aku bersama tim Roemah Inspirit akan pergi ke Bali untuk retret. Seminggu sebelum retret dilakukan, aku mengecek surel berisi penjelasan serta agenda retret kami nanti. Dalam surel itu aku menemukan kalimat-kalimat seperti “meregulasi sistem saraf” dan “perspektif sistemik”. Aduh, apa pula itu artinya. Aku menahan diri untuk tidak bersikap judgmental, dan mengingat bahwa dalam enam bulan aku menjadi bagian dari organisasi ini, setiap hal yang awalnya aku hakimi selalu berhasil mengejutkanku secara positif. Maka aku menarik nafas, mengusir segala praduga, dan bersiap tiba di Bali dengan hati dan pikiran yang terbuka.


Selain istilah-istilah ajaib tadi, lewat surel Karen dan Rival–kedua fasilitator kami–meminta seluruh tim Roemi untuk membawa satu barang dari alam yang merepresentasikan intensi yang akan kami bawa dalam retret ini. Ada yang membawa tasbih kayu sebagai representasi dari ketenangan dan relaksasi, ada pula yang membawa air dalam gelas sebagai representasi dari emosi yang hendak dikeluarkan selama retret. Aku menemukan kembang sepatu berwarna merah. Sebetulnya aku nggak tahu persis kenapa, tapi setelah cari di internet ternyata kembang sepatu merah secara khusus berarti keberanian. Aku menginterpretasikannya sebagai keberanian untuk menjadi diri sendiri, itu jadi intensi sekaligus doa bagi diriku.



Salah satu hal utama yang hendak disampaikan dalam retret ini adalah mengenai pentingnya memahami sensasi tubuh. Seusai sesi, ada satu pertanyaan yang tak pernah luput Karen tanyakan: apa yang saat ini Anda rasakan di dalam tubuh? Kita terbiasa untuk menjawab pertanyaan itu dengan ekspresi umum seperti “biasa saja”, “baik”, atau “tidak terlalu baik”, tapi menolak atau bingung ketika diminta mengelaborasi lebih lanjut. Dari penjelasan Karen, sebabnya dalam kehidupan sehari-hari, kita memperlakukan tubuh seperti benteng alih-alih rumah yang mesti dirawat dan dirapikan secara berkala. Kita jadi kurang sensitif mengenai rasa tubuh karena sering tidak dihiraukan.


Paham sensasi tubuh berarti belajar menjadi hadir. Menjadi hadir, aku sadari, bukan hanya penting untuk kesejahteraan diri sendiri, namun akan berdampak baik terhadap organisasi serta kerja sosial yang dilakukan. Ketika kamu hadir sepenuhnya dalam pekerjaan yang kamu geluti, pikiranmu menjadi lebih jernih. Cara pandangmu terhadap masalah pun menjadi lebih tajam, dan hanya dengan begitu perubahan dapat dicanangkan secara sadar, inklusif, dan berkelanjutan.


Kehadiran penuh juga berarti kemampuan memaknai hidup secara utuh. Karen mengajarkan kami tentang empat cara mengetahui: intelektual, intuitif, emosional, dan somatik. Semua orang punya gaya uniknya sendiri dalam mengetahui dan memaknai sesuatu. Meski begitu, kita seringkali dituntut untuk selalu memajukan logika (intelektual) dan menganggap tipe pemaknaan lain inferior. Dominasi intelektual–Karen menggunakan istilah intellectual override dalam mendeskripsikan fenomena ini–membuat kita terputus dari diri sendiri dan dunia di sekitar kita.



Memilih untuk memaknai dunia yang kian kompleks dan berwarna dengan satu cara terasa seperti sebuah kesia-siaan. Oleh karenanya, pada saat selanjutnya organisasimu dihadapkan dengan sebuah masalah, jangan hanya mempertimbangkan apa yang ‘rasional’. Tapi tanyakan juga bagaimana cara menciptakan pendekatan yang hangat, empatik, dan terbuka. Untuk bisa menemukan jawabannya, dengarkan intuisi dan emosimu. Serta perhatikan sinyal yang berusaha tubuhmu sampaikan, bisa jadi mereka punya jawaban yang otakmu tak mampu formulasikan.


Kamu juga bisa melihat seberapa sering intelektualmu mendominasi ketika kamu menolak untuk menyadari bahwa dirimu sedang tidak baik-baik saja. Karen menjelaskan kepada kami bahwa lanskap OMS adalah sebuah konstelasi, sementara organisasi di mana kamu berada adalah sebuah medan. Setiap unsur di dalam medan itu saling berkaitan. Itu berarti energi yang kamu bawa berkontribusi terhadap energi medan secara keseluruhan. Ketika kamu merasa organisasimu berada di fase stagnan dan sulit berkembang, bisa jadi karena di dalam medan organisasimu ada aspek yang tidak berfungsi dengan baik.


Bisa saja anggota organisasi ada yang bekerja di bawah kondisi stres ekstrem atau merasa dirinya mengangkat beban yang terlalu berat untuk dipikul sendirian. Poin kehadiran terus menerus digaungkan dalam proses retret kami, dan hal itu juga berlaku dalam manajemen stres. Untuk menyadari dan mengelola stres adalah bagian dari menjadi hadir.


Anggota organisasi yang lebih rileks akan membuat proses pemetaan masalah menjadi lebih lancar. Ketika kamu dan organisasimu berhasil keluar dari fase bertahan hidup (survival mode) dan pindah ke fase tumbuh dan berkembang (thriving), kamu akan dapat menguak ‘hama’ yang mungkin bersarang pada jantung organisasi–baik organisasimu sendiri maupun orang lain. Organisasimu akan lebih cakap dalam berupaya mengurai simpul permasalahan yang terlalu rumit, juga lebih berani dalam meninggalkan metode yang sudah usang.


Pekerjaan di bidang ini menuntut kerja emosional tinggi. Selain mengorganisir kegiatan dan memberdayakan masyarakat lokal, kamu juga harus memupuk harapan, menjaga semangat, dan mengelola perasaan. Oleh karenanya jangan lupa untuk berhenti sejenak dan menanyakan kondisi hati, merasakan sensasi menggelitik yang mungkin hadir di telapak kaki, dan mengambil nafas panjang.

Comentarios


bottom of page